Rasanya Hidup Di Luar Negeri: Retrospeksi Setahun di Finlandia
Waktu kecil kayaknya sering banget dapet pemahaman bahwa hidup di luar negeri tuh enak, segala macam teratur dan nyaman. Imajinasi hidup yang tampak ideal itu tertanam banyak dari film-film Hollywood yang gue tonton sampai gue bercita-cita untuk tinggal menetap di luar negeri. Di penghujung umur 20-an, akhirnya gue berkesempatan untuk memulai hidup di luar negeri dan bisa membuktikan sendiri apakah asumsi-asumsi awal yang ada di kepala gue itu ada benarnya atau tidak.
Gue tinggal di Helsinki. Lebih tepatnya sampingnya Helsinki sih, namanya Espoo. Universitas gue berlokasi di perbatasan Helsinki dan Espoo, dan gue sendiri tinggal di apartemen di Espoo. Metropolitan Helsinki, termasuk Espoo dan Vantaa, cukup luas tapi sangat sparse. Penduduknya hanya sekitar satu juta saja. Downtown Helsinki paling hanya sebesar kawasan Blok M aja dari Melawai hingga Mayestik dan Blok A. Kualitas hidupnya memang sangat tinggi, fasilitas umum tersedia lengkap seperti transportasi, ruang terbuka publik, dan tempat ibadah. Biaya hidup memang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan dan pendapatan minimal, masih termasuk cukup. Jika dibandingkan dengan Jakarta, Helsinki ini lebih sepi, tidak semrawut, dan mudah untuk mobilitas sehari-hari.
Sekali makan butuh antara 5-15 Euro. Rata-rata ongkos makan 10 Euro. Tapi kalau makan di kampus bisa pakai harga mahasiswa yang hanya 2.7 Euro, cuman ya makanannya sederhana banget lah dibandingkan yang makan lengkap. Di luar kampus, pilihan makanannya juga cukup variatif, seperti makanan khas Nordic, makanan barat, kebab dan rotisserie, dan makanan Asia dan Jepang. Uniknya sepertinya orang-orang Helsinki suka banget makanan Jepang dan Sushi, tampak dari banyaknya restoran Sushi buffet tersebar seantero kota. Gue salah satu pelanggan rutin Sushi buffet dan minimal seminggu sekali makan di Sushi buffet.
Namun buat gue yang dulunya tinggal di kota yang sangat padat, dengan segala hingar-bingarnya, Helsinki rasanya seperti kota-kota di daerah Kalimantan yang tidak begitu padat seperti Pontianak atau Samarinda. Bahkan kota-kota kecil di Jawa aja masih terasa keramaiannya. Di sini, hanya dengan 15 menit naik kereta komuter saja kita bisa langsung terdampar di daerah pertanian dan ladang yang hampir tidak tampak orang-orang berkeliaran. Bahkan untuk gue yang cenderung anti-sosial dan introvert merasakan perubahan kehidupan gue dari Indonesia ke Finlandia sangat ekstrim dilihat dari suasana kehidupannya.
Pada awal-awal pindah ke Finlandia, rasanya masih normal-normal saja, mungkin karena masih disibukkan dengan kegiatan kampus yang cukup padat dan variatif. Namun setelah hampir setahun menjalaninya, lama-lama terasa bahwa hidup jauh itu nggak segitunya enak. Gue mulai paham bagaimana rasanya homesick dan memiliki keinginan untuk pulang dan mundur saja. Buat gue yang selama 28 tahun hidup selalu bersama keluarga, walaupun selama 10 tahunan hidup terpisah dari orang tua kandung gue, gue selalu tinggal di dekat keluarga gue. Ini pertama kalinya gue hidup ngekos dan benar-benar ekstrim terpisah jauh dari keluarga gue dan ini yang menurut gue paling berat.
Terlebih lagi, gue makin paham bahwa semakin bertambahnya umur gue, semakin membuat gue lebih ingin dekat di rumah dibandingkan jauh-jauh. Energi dan keinginan gue untuk menjelajahi dunia ini rasanya makin luntur setiap harinya, karena gue lebih ingin menghabiskan waktu bersama orang-orang yang gue sayang. Idealnya ya sebenarnya gue ingin menjelajahi dunia bersama mereka-mereka semua., namun terlalu banyak halangan untuk melakukan itu, sehingga gue lebih memilih untuk lebih sering pulang ke rumah dibandingkan jalan-jalan Eurotrip.
Hal yang menurut gue paling berat untuk tinggal di luar negeri adalah terpisah dari orang-orang yang gue sayang. Kadang gue merasa hopeless karena nggak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang penting dalam hidup gue memiliki masalah. Belum lagi rasa kesepian dan merasa asing dari lingkungan sekitar kita, dan keharusan menjalin hubungan dengan orang-orang yang benar-benar baru dan berbeda kultur. Hal-hal seperti itu sering membuat gue memiliki anxiety yang berlebihan. Walaupun memang ini sudah jadi tabiat gue dari kecil dan kayaknya memang ga akan pernah bisa diubah sih. Sampai-sampai temen-temen deket gue pun sudah paham dengan sifat gue yang seperti ini.
Ini baru setahun gue menjalani pendidikan pascasarjana, dan gue masih memiliki rencana yang lebih jauh lagi yang harus gue lakukan. Sempat dapat pertanyaan dari profesor dan advisor gue apakah gue tertarik untuk melanjutkan lagi ke Kanada, tempat profesor gue akan pindah mulai tahun depan. Jika dibilang tertarik sebenarnya sangat tertarik, tetapi kalau ditanya sanggup, kayaknya enggak. Eropa ini udah paling ideal dari faktor jarak ke kampung halaman, ongkos transportasi pulang kampung, dan perbedaan zona waktu. Jika lebih jauh lagi kayaknya gue nggak akan sanggup menghadapi tiga faktor itu untuk mengobati rasa homesick gue yang kerap datang. Bahkan beberapa minggu terakhir gue sempat terpikirkan untuk mencari peluang yang lebih dekat ke timur agar lebih gampang lagi mondar-mandir ke rumah. Namun sepertinya gue akan tetap berusaha mencari peluang di Eropa dulu untuk saat ini.
Mungkin salah satu faktor yang bikin gue belum settle down dengan kehidupan rantau gue adalah fakta di mana gue akan segera pindah ke universitas tahun kedua gue di Perancis. Alam bawah sadar gue mungkin memang menolak untuk settle down karena percuma saja untuk settle kalau nanti akan mengulang lagi adaptasi terhadap lingkungan dan kulturnya. Walaupun begitu, gue cukup excited menghadapi perpindahan gue ke Perancis bulan depan yang harapannya Perancis bisa lebih berwarna, sumringah, dan lebih hangat cuacanya dibandingkan Helsinki yang cenderung suram dan kelabu. Selain itu, perkuliahan tahun kedua nanti nampaknya akan sangat menarik dengan peluang-peluang riset untuk kelulusan gue lainnya.
Jadi, jika ditanya sekarang, apakah hidup di luar negeri enak? Enggak juga. Di Helsinki nggak ada Chatime, nggak ada Sate Padang, nggak ada Bakmi GM, dan berbagai hal-hal sederhana lainnya yang membuat kampung halaman itu lebih enak dibandingkan perantauan. Jadi jangan aneh kalo gue dan cukup banyak orang seneng mondar-mandir pulang kampung. Selama tiket PP bisa dapet cuma sekitar 600 Euro, yang ga jauh lebih mahal dari tiket PP Jakarta – Jayapura sekarang, ya gue ga akan melewatkan kesempatan waktu senggang gue untuk bersama keluarga di Jakarta.