Sebuah Cerita Tentang Iman

Jujur, gw kesal, marah, malu, melihat kejadian banyak umat Muslim Indonesia di bulan Ramadan ini.

Lagi ribut-ribut soal tudingan Quraish Shihab sebagai orang Syiah, hanya karena statement beliau dipelintir oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Akhirnya jadi viral lah di internet bahwa Quraish Shihab itu Syiah. Beredarlah lagi di news feed kata-kata SESAT, SESAT, SESAT!

Tahukah kalian bahwa menuding SESAT kepada orang yang menyebutkan Asyhaduala Ilaha IlAllah wa Asyhaduanna Muhamadarrasulullah itu dosa? Bagaimana kalau tudingan kalian dikategorikan sebagai fitnah oleh Allah? Enteng mengucapkan kata SESAT itu sudah salah satu bentuk KESESATAN berpikir, berakhlak, dan beragama. Oke, gw ga mau berdebat soal Syiah. Pemahaman dan kepercayaan gw juga meyakini bahwa Syiah itu BERBEDA, bahkan dari sisi Aqidah. Tetapi itu tidak bisa menjustifikasi kita enteng ngomong SESAT, SESAT, dan SESAT.

Capek ah, di Facebook udah ngomongin ini, lemme talk about something else.

Jadi bagaimana gw mendapatkan iman gw? Banyak teman-teman gw yang kehilangan imannya sehingga meninggalkan Tuhannya. Banyak juga yang mengaku beriman tapi akhlaknya tidak mencerminkan sama sekali keimanannya.

Gw memang sekolah di sekolah Islam, waktu SD, di Al-Azhar BSD. Tapi, rahasia nih ya, gw dulu di sekolah selalu memalsukan tanda tangan absensi Shalat. Sehingga gw memang jauh dari kata anak alim. Bahkan waktu SMA gw pernah di-bully sama teman dan (bahkan) guru agama gw sebagai anak yang tidak taat agama. Katanya perlu di ruqyat atau bai’at atau apalah itu biar lurus. How not funny at all is that? Bullying? Please..

Kejadian itu membuat gw sangat skeptis melihat orang-orang yang tampak alim di luaran, tetapi ternyata akhlaknya jauh dari sikap alim. Tampak sekali bahwa mereka cuma terdoktrin dengan tekstual dan ajaran-ajaran dari guru atau Ustadznya, sehingga sebenarnya menjadikan mereka tak ubahnya sebagai taqlid buta. Bagaimana mereka dengan entengnya menganggap orang lain sesat, bid’ah, inilah itulah, menuding dengan tuduhan-tuduhan, dan lain sebagainya. Sehingga kadang gw bertanya, sebenarnya bagaimana mereka menemukan iman? Apakah mereka beriman menggunakan hati mereka, atau cuma iman di atas teori saja? Gw bilang ini bukan berarti bilang bahwa teori ga penting loh ya.

Gw bukan orang yang mengaplikasikan teori dalam Islam sepenuhnya dalam hidup gw. Gw shalat masih sering telat, kadang bolong. Yang wajib aja masih belum rapih, apalagi yang sunnah. Belum lagi maksiat yang kecil hingga yang besar, gw belum bebas daripada itu. Mungkin juga tidak akan bisa terbebas sepenuhnya, karena gw memang manusia biasa yang tidak akan luput dari dosa. Tapi gw selalu terngiang pemahaman yang ditanamkan kepada gw dari berbagai Ustadz di berbagai khutbah Jum’at, maupun nasihat-nasihat dari orang tua gw. Bahwa Allah itu akan selalu memperhatikan hambaNya, menjaga hambaNya asalkan tetap ada iman menyala di hati kita.

Banyak kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup gw, yang menumbuhkan dan menguatkan iman gw kepadaNya. Banyak harapan-harapan kecil yang manis di hati gw yang tak disangka-sangka berbuah menjadi kenyataan. Entah kenapa seakan menunjukkan bahwa Allah itu di sana memperhatikan gw, menyayangi gw, walaupun gw berlumur dosa, tak luput dari maksiat dan tingkah laku jahiliyah. Tetapi gw masih merasakan bagaimana mendapatkan nikmat sepanjang jantung gw berdetak.

Ya klise sih, apalagi mungkin orang-orang Atheis bakal bilang itu cuma di perasaan lo aja, yang berharap ada sesuatu yang lebih besar mengontrol itu semua, bla bla bla, ya tapi itulah yang gw percayai, dan Alhamdulillah sampai sekarang belum goyah.

Selain itu, kecintaan gw terhadap alam semesta ini, kekaguman gw terhadap ciptaanNya, yang gw rasakan setiap kali melihat keajaiban alam, keindahan lukisan semesta, tambah meningkatkan kedekatan gw terhadapNya. Gw termasuk orang yang sangat suka dengan sains dan ilmiah. Gw melihat hukum-hukum Fisika adalah sekumpulan source code yang telah dirancang oleh Allah dalam menggerakkan dunia ini. Gw melihat bagaimana canggihnya tubuh manusia bekerja, dengan semua reaksi kimianya, yang menghasilkan detak jantung, hela nafas, aliran darah, dan berbagai macam di dalamnya sebagai keajaiban yang tidak ada tandingannya di dunia ini.

Sungguh gw akhirnya memahami kenapa Islam disebutkan sebagai Agama yang berpikir. Karena iman itu bisa kita peroleh dengan berpikir, dengan menggunakan akal pikiran serta hati kita untuk mengerti, memahami, dan merasakan. Sedangkan apabila kita hanya menghafalkan teori saja, kita tidak akan pernah mengerti, memahami, apalagi merasakan. Coba saja ingat-ingat bagaimana kita berusaha menghafal teori menjelang ujian. Kelar ujian, lupa semua deh.

Gw nggak peduli atas apa yang orang lain bilang terhadap gw. “Halah, shalat males aja ngomongin agama.”, “Otak agama cetek ga usah bicara agama deh”, “Lo bilang beriman tapi bermaksiat”, dsb dsb dsb. Iman gw cuma kepada Allah. Memang iman gw belum ada apa-apanya, karena iman gw juga belum sepenuhnya menjauhkan gw dari perbuatan dosa. Tetapi gw berusaha. Gw tetap mengingat. Gw tidak ingin memadamkan rasa itu. Karena memang gw yakin bahwa Allah itu memang menyayangi semua hambaNya asalkan kita terus mengingatNya.

Sekedar cerita kecil, kadang gw suka mempersonifikasikan Allah dalam merespon apa yang gw lakukan, tanpa bermaksud merendahkan atau menistakanNya. Contohnya:

“Allah pasti geleng-geleng kalau lihat Gilang ini bolak balik bikin dosa, tetapi bolak balik juga minta pertolongan”.

Tetapi salah satu yang selalu ada di hati gw adalah

“Allah rasanya selalu tersenyum melihat gw apapun yang gw lakukan. Allah pasti murka terhadap dosa-dosa yang gw lakukan berulang kali. Tetapi Allah juga nggak pernah bosan berulang kali mengarahkan gw, mengingatkan gw dengan cara yang halus, menunjukkan tanda-tandaNya, agar gw bisa menjadi yang lebih baik. Terkadang gw malu kepada Allah atas diri gw yang sangat kotor ini, tetapi sepertinya Allah tetap mengarahkan agar gw tetap tidak melupakanNya, dan menjauhi apa yang tidak dikehendakiNya. Allah-pun tidak dan tidak akan pernah malu untuk menolong hambaNya seburuk apapun hambaNya. Karena Allah itu Maha Penyayang.”

Yah itu sih salah satu yang tersirat di dalam hati gw. Selebihnya biarlah itu menjadi rahasia antara aku dengan Dia. Semoga kita semua bisa beriman dengan akal pikiran dan hati kita, bukan hanya paham teori saja, karena teori doang ga cukup.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *