Mahasiswa Aktif = Rajin Demonstrasi?

Persamaan “matematis” pada judul di tulisan ini memang patut dipertanyakan. Sebagai seorang mahasiswa universitas negeri di ibukota yang cukup dikenal sebagai penggerak gerakan mahasiswa, saya pun mempertanyakan esensi dari gerakan-gerakan mahasiswa yang mayoritas berbentuk demonstrasi atau lebih dikenal dengan “turun ke jalan”.

Secara pribadi, saya tidak berani melakukan aksi turun ke jalan. Namun alasan saya bukanlah saya takut terhadap jalanan itu sendiri, namun saya takut kepada kedua orang tua saya yang mungkin akan “menggebuki” saya jikalau saya ketahuan ikut-ikutan turun ke jalan. Kedua orang tua saya juga merupakan rakyat yang skeptis atas pemerintahan negaranya. Namun mereka menganggap aksi-aksi yang banyak dilakukan mahasiswa-mahasiswa tersebut lebih sia-sia.

Saya sendiri melihat aksi-aksi mahasiswa, yang bukan hanya dari kampus saya-bahkan saya berharap mahasiswa dari kampus saya tidak melakukan yang seperti ini, cenderung merugikan kepentingan umum. Lihat salah satu contohnya pada berita-berita di televisi kemarin. Sekelompok mahasiswa berusaha memblokade jalur Pantura, baku hantam dan akhirnya merusak fasilitas umum, bahkan membuang-buang sampah dan menambah kotor lingkungan kota. Perilaku-perilaku tersebut sangat tidak menggambarkan mahasiswa yang intelek dan berpendidikan, dan malah berperilaku seperti layaknya suporter sepak bola di belahan timur pulau Jawa yang selalu membuat onar setiap kali pertandingan sepak bola timnya berlangsung.

Mari kita angkat kalimat “mahasiswa yang intelek dan berpendidikan”. Apakah mahasiswa yang berdemonstrasi tersebut memiliki prestasi akademik yang baik? Saya mengakui bahwa saya pun tidak memiliki prestasi akademik yang cemerlang. Namun ternyata sepenglihatan saya di lingkungan kampus saya, mahasiswa yang memiliki prestasi akademik cemerlang cenderung ogah untuk ikutan berdemonstrasi di bundaran Hotel Indonesia. Bagaimana dengan mahasiswa yang berasal dari universitas (maaf) antah berantah, yang kualitas akademiknya cenderung kurang baik? Seharusnya mereka-mereka yang (mungkin) prestasi akademiknya kurang baik tidak menyia-nyiakan waktu mereka dengan turun ke jalan yang ujung-ujungnya merugikan mereka sendiri. Mereka bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat, dan nantinya dapat berguna untuk bangsa dan negara kedepannya. Ingat bahwa mahasiswa merupakan tombak penerus bangsa yang sangat vital. Apalah jadinya jika para penerus bangsa hanya merupakan tukang demonstrasi yang tidak memiliki intelektual tinggi?

Bahkan hasil output dari mahasiswa-mahasiswa aktivispun tidak seperti yang diharapkan. Kita tahu bahwa banyak pemimpin-pemimpin negara saat ini merupakan aktivis-aktivis zaman baheula. Namun apa kata ternyata mereka ikut terbawa arus dan menjadi perampok negara yang tidak teradili dengan seadil-adilnya. Bahkan mereka juga berebut kekuasaan! Sungguh tragedi yang menyedihkan buat bangsa Indonesia dimana aktivis-aktivis muda ternyata ujung-ujungnya menjadi birokrat-birokrat kotor.

Seharusnya mahasiswa yang baik jangan terlalu sering turun ke jalan. Saya sekarang sering melihat bahwa gerakan-gerakan mahasiswa saat ini, khususnya yang berasal dari kampus saya, banyak yang merupakan gerakan “kejar tayang” demi mempertahankan citra sebagai kampus aktivis. Mereka mungkin menganggap bahwa dengan berdemonstrasi mereka bisa memperjuangkan suara rakyat. Tapi mana hasilnya? Capek-capek berdemonstrasi yang ada cuma kehampaan. Pejabat-pejabat itupun enggan menunjukkan batang hidungnya di depan para demonstran yang berteriak-teriak memperjuangkan suara rakyat tersebut.

Sudah saatnya kita beralih dari cara-cara kuno yang saat ini sudah tergolong barbaric dan beralih ke cara-cara yang lebih terpelajar. Kita harus merebut kembali kedaulatan kepada rakyat, dan kita harus menyudahi pembodohan massal oleh para pejabat-tak-berperikemanusiaan tersebut. Namun caranya tidak harus dengan turun ke jalan. Sebagai mahasiswa kita bisa memberikan pengajaran-pengajaran politik kepada rakyat-rakyat awam agar mereka tidak lagi dapat dibodohi oleh pejabat-pejabat jahat itu. Kita juga bisa menulis di media-media, menginformasikan kepada khalayak apa yang seharusnya ktia perjuangkan. Kita juga bisa memulai perubahan dari hal yang kecil terlebih dahulu.

Kita memang harus bersabar untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Kita membangun masa depan layaknya menabung, dimana pepatah mengatakan menabung sedikit-sedikit menjadi bukit. Banyak upaya yang bisa dilakukan untuk membawa perubahan, layaknya pepatah juga banyak jalan menuju Roma. Rajin Demonstrasi tidak sama dengan Mahasiswa Aktif. Kedua hal tersebut tidak bisa disamakan dan tidak boleh disamakan. Karena perjuangan mahasiswa, sebagai rakyat kecil, tidak hanya dengan berdemonstrasi. Seperti kata agama Islam, menuntut ilmu juga adalah jihad. Jadi?

Artikel ini merupakan artikel yang gw tulis di http://www.kompasiana.com

Mungkin Anda juga menyukai

3 Respon

  1. azer89 berkata:

    demonstratsi juga gak ada salahnya menurut saya…
    demonstrasi merupakan salah satu cara untuk menyuarakan suara mahasiswa ke penguasa ketika di jaman sekarang jarang ada pejabat yang mau mendengar apa yang diteriakkan rakyat
    selama demonstrasi tersebut berlangsung damai dan tetrib juga gak ada salahnya bukan…
    apalagi dulu tahun 1998 yang menurunkan rezim Soeharto juga mahasiwa kan
    btw nice post :)) keep writing

  2. noval berkata:

    saya setuju dan tidak dgn tulisan anda.
    sebetulnya demonstrasi itu tak ada salahnya.
    karena kalo rakyat jelata, buruh, petani yang berdemo kemungkinan didengar hanya +- 10 %,
    mahasiswa adalah manusia intelek yang mempunyai peluang besar, ingatkah tragedi 1998?, mungkin anda dapat menganalisanya sendiri.
    itu tergantung pemikiran saudara.

    keep posting 🙂

  3. Gilang berkata:

    Hehehehe. Kan bukannya udah saya tekankan ya di atas kalau saya bilang Mahasiswa pun kemungkinan didengarnya hanya +/- 10%. Kejadian tahun 1998 itu mungkin bisa dibilang sebagai exception karena bisa dikatakan itu adalah people power, dan gerakannya masif sekali. Jikalau ternyata kondisi negara kita semakin memburuk seperti zaman tahun 1998, itu memang bukan hanya mahasiswa, semua orang pun bakal berontak. Kebetulan saja mahasiswa cenderung lebih pro-aktif untuk bersuara, jadinya gerakan semacam tahun 1998 dan tahun-tahun sebelumnya banyak didahulukan oleh gerakan mahasiswa.

    Sekarang saya tanya balik deh, berapa banyak sih aspirasi yang diteriakkan di depan gedung DPR, bundaran HI, dll yang akhirnya didengarkan oleh para wakil rakyat di Senayan maupun Istana? Saya rasa sangat sedikit sekali. Memang saya cenderung skeptis memandang hal ini sehingga berpendapat bahwa gerakan mahasiswa yang turun ke jalan cenderung lebih sia-sia ketimbang usulan saya di atas (penyuluhan, dll).

    Just my two cent 🙂

Tinggalkan Balasan ke noval Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *