Dari Arsitek ke Keamanan Komputer: Sebuah Kisah Perjalanan Mencari Semangat
Karena twit gue yang viral kemarin, gue dapet banyak kontak pribadi baik melalui Twitter maupun medsos lainnya. Ada salah seorang yang bertanya tentang bagaimana gue mencari passion gue, dan juga memberanikan diri untuk pindah jenjang karir dari dulunya sebagai konsultan menjadi software engineer.
Sebelumnya gue sendiri sudah pernah menulis di blog gue yang berbahasa Inggris tentang alasan kenapa gue meninggalkan karir gue di Accenture. Di blog tersebut, gue memang lebih banyak memberikan alasan dan latar belakangnya. Tapi memang mungkin tidak terlalu banyak membahas prosesnya. Mungkin gue bisa mencoba menceritakan dari sisi perjalanan gue yang bisa gue ingat juga hingga mencapai posisi gue pada saat ini.
Blog ini ditulis pada bulan Mei 2020, di mana gue sedang menyelesaikan studi pascasarjana gue di bidang ilmu keamanan komputer (computer security). Jadi, semua kisah yang gue tuliskan di sini adalah pengalaman dari masa lalu, bahkan mungkin dari ketika zaman sekolah hingga detik ini. Ini cerita udah bolak-balik gue ceritakan secara verbal. Tapi sepertinya gue belom pernah mendokumentasikan ini secara tertulis selengkap mungkin. So, please bear with me. This might be a long post 🙂
“Cita-Cita Lo Apa Sih?”
Kemarin di Facebook, ada yang membagikan pertanyaan yang menggelitik:
Answer it challenge:
1. Childhood ambition
2. College course
3. Current job
Banyak orang yang tidak percaya ketika gue bilang bahwa cita-cita gue adalah arsitek dan ahli tata kota. Walaupun gue kenal komputer sejak umur 4 tahun, dan sejak SD kelas 2 sudah sangat mahir menggunakan komputer untuk kegiatan sehari-hari, sama sekali gue tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang software engineer. Waktu kecil dulu mana ada terbayang pekerjaan sebagai programmer. Biasanya anak kecil pasti terbayang hal-hal yang terlihat nyata. Begitupun gue.
Gue bermimpi banget menjadi seorang arsitek setelah melihat pembangunan jalan tol JORR di Pondok Indah ketika gue berumur 5 tahun. Gue kagum dengan dentuman mesin pakubumi dan membangun struktur-struktur besar yang menjadi tulang punggung perkotaan. Sesederhana itu. Bisa dibilang, rasa suka itu selalu diawali dengan rasa kagum. Dan ini tetap berlaku walaupun kita telah dewasa. Jadi, langkah pertama dalam mencari passion adalah dengan menjelajahi rasa kagum kita atas sesuatu.
Cita-cita ini bertahan cukup lama. Sepanjang SD, SMP, hingga menjelang akhir SMA, ketika pertanyaan “cita-cita lo apa?” jawaban gue selalu adalah arsitek. Semuanya berubah ketika orang tua gue secara halus berusaha mengarahkan gue untuk memilih jurusan lain selain arsitek. Orang tua gue mendapatkan dorongan dari kerabatnya yang adalah seorang arsitek untuk menyuruh gue berubah pikiran agar tidak kuliah di jurusan arsitektur. Menurutnya, persaingan mencari kerja di bidang arsitek itu sangat berat karena jumlah lulusannya terlalu banyak sedangkan ladangnya yang benar-benar di bidang yang selaras itu sangatlah terbatas. Atas dasar alasan itulah orang tua gue berusaha menyuruh gue untuk berpikir ulang atas rencana gue mengambil kuliah arsitektur. Dan itu terjadi 6 bulan sebelum tes ujian masuk universitas.
Jalan Alternatif
Gue termasuk tipe anak yang nurut banget sama orang tua. Walaupun sebenernya gue sering banget ngelawan bahkan berantem dengan orang tua gue karena kemalasan dan kenakalan gue, gue selalu menjadikan input dari mereka sebagai bahan pertimbangan yang besar juga buat gue. Gue percaya dengan pertimbangan dan harapan orang tua gue. Selain itu, orang tua gue bukan tipe yang memaksakan kehendak mereka ke anaknya juga. Gue sendiri tidak disuruh pilih arah jurusan tertentu, gue cuma disuruh berpikir ulang saja dan mencoba mencari alternatif lainnya.
6 bulan menjelang SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, jaman sebelum SNMPTN, SBMPTN, dll) itu merupakan masa-masa yang berat buat gue. Karena gue harus berpikir keras apa alternatif yang harus gue ambil. Gue enggak pernah mempersiapkan keadaan seperti ini. Dari kecil, patokan gue selalu adalah menjadi arsitek dan bekerja di bidang itu. Akhirnya gue mencoba untuk merefleksikan diri sendiri, melihat lebih dalam lagi apa aja sih yang gue suka dan potensi yang gue miliki.
Gue sebenarnya bukan murid yang cemerlang. Nilai gue biasa-biasa saja, bahkan tidak pernah itu seumur hidup dapat ranking 1. Tapi gue banyak menyukai bidang-bidang yang diajarkan di sekolah. Misalnya, gue sangat suka pelajaran ekonomi dan akuntansi. Ketika kelas 1 SMP gue sudah diajarkan pelajaran Administrasi Sederhana di sekolah, dan gue sangat menikmati belajar membuat pembukuan, neraca debit-kredit, dan sebagainya. Kalau dilirik lebih ke belakang lagi, waktu kecil gue suka main jualan-jualanan bersama teman-teman masa kecil. Gue dulu juga punya bayangan ingin menjadi pebisnis handal dan jadi orang terkaya di dunia seperti Bill Gates.
Rasa suka dengan bidang ekonomi ini berlanjut hingga kelas 1 SMA di mana gue mendapat nilai tertinggi di kelas. Bahkan, bisa jadi tertinggi satu sekolah kalau melihat gelagat dari guru Ekonomi gue yang berusaha mendorong gue untuk mengambil penjurusan IPS. Tapi gue tahu bahwa walaupun gue suka banget dengan ekonomi akuntansi, rasa suka itu berakar dari rasa suka gue terhadap matematika. Gue memilih untuk menempuh jurusan IPA karena gue tidak mau meninggalkan pelajaran matematika yang lebih rinci dan dalam dibandingkan pada jurusan IPS.
Selain bidang ekonomi dan entrepreneurship, gue juga sangat tertarik dengan bidang medis. Gue selalu kagum dengan profesi dokter, bekerja di rumah sakit, menjadi tenaga yang menolong dan menyelamatkan nyawa sesama manusia. Gue sendiri sudah suka membaca buku-buku pengetahuan tentang tubuh manusia sejak kecil. Gue juga suka pelajaran biologi walaupun nilainya tidak begitu bagus karena terlalu banyak hapalan yang berat buat gue. Kedokteran menjadi pilihan alternatif gue bahkan gue sudah bersiap mengikuti ujian PMDK Prestasi di Universitas Airlangga. Namun akhirnya gue mengurungkan niat itu karena gue tahu gue itu orangnya pengecut dan penakut. Gue ga akan sanggup membedah mayat untuk belajar anatomi tubuh manusia. Daripada gue kuliah lalu gue depresi karena kuliah itu, lebih baik gue menghindar saja sekalian.
Dan akhirnya kembalilah ke hobby gue sejak kecil yaitu komputer. Gue sudah memulai mempelajari pemrograman sejak SMP kelas 1 dengan membaca buku. Gue pertama kali belajar Visual Basic karena memang itu yang banyak dibahas di buku-buku yang tersedia di Gramedia masa itu. Walaupun begitu, pemrograman buat gue hanyalah sekedar hobby saja saat itu. Gue tidak terpikirkan untuk menempuh pendidikan di bidang itu. Bahkan, guepun sudah tahu pada masa itu, gaji programmer di Indonesia itu sangat kecil. Ini membuat dulu gue enggan untuk kerja jadi programmer. Salah satu pikiran gue bisa jadi didasarkan karena perspektif gue yang masih terlalu sempit, yang berpikir hanya di lingkungan Indonesia saja. Gue belum terpikirkan untuk menjadi programmer yang sukses di dunia internasional.
Menimbang dan Memutuskan
Setelah melakukan kontemplasi atas alternatif-alternatif yang bisa gue tempuh dan membentuk pertimbangannya, gue memutuskan untuk mengambil pilihan jurusan Ilmu Komputer. Pertimbangan utamanya adalah semata-mata karena gue suka dengan komputer. Gue berpikir dengan rasa suka dan gue yang sudah punya pengetahuan dasar di bidang tersebut, gue akan lebih mudah untuk mengikuti pendidikannya. Walaupun pada kenyataannya tidak 🙂
Selain itu, gue hanya memilih satu-satunya di Universitas Indonesia. Gue sempat mempertimbangkan alternatif lainnya seperti di ITS, ITB, maupun UGM. Tapi gue lebih memilih di UI karena gue bisa tinggal bersama nenek gue dibandingkan di kampus lain yang mengharuskan gue tinggal sendiri. Ya, ini alasan manja sih :). Selain itu, gue juga menolak ketika orang tua gue mencoba memberikan alternatif lainnya untuk kuliah di swasta. Gue berpikir universitas swasta yang bagus itu sangat mahal, dan orang tua gue yang saat itu ekonominya masih sedang-sedang saja tidak akan sanggup membiayai kuliah gue di universitas yang mahal.
Dalam membuat keputusan, kita harus selalu dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang rasional. Tidak masalah jika alasan rasionalnya adalah karena alasan manja dan ingin yang mudah. Itu wajar karena kita sebagai manusia pasti ada tingkatan risiko yang bisa kita terima. Misalnya, keputusan berisiko tinggi yang gue ambil pada saat itu adalah hanya ikut SPMB dengan memilih pilihan Fasilkom dan Teknik Elektro UI tanpa mengikuti ujian maupun alternatif lainnya. Sedangkan keputusan yang berisiko rendahnya adalah gue mengambil Fasilkom dan Teknik Elektro karena gue merasa yakin gue bisa menjalani kuliah dengan mudah karena rasa suka gue di bidang tersebut.
Mengambil keputusan itu semuanya adalah soal keseimbangan. Kita harus menyeimbangkan hasil dan risiko dari pilihan yang akan kita putuskan tersebut. Keseimbangan ini hanya kita seorang yang bisa menentukannya. Kita dapat membuat keputusan yang tepat dengan mencari keseimbangan di dalam pertimbangan yang kita buat. Jadi, sebaiknya kita coba mengenali lagi diri kita sendiri. Ketahui bagaimana risk profile kita, yaitu seberapa siap kita mengambil risiko. Ketahui juga strength (kekuatan) dan weakness (kelemahan) kita, untuk bisa mengenali potensi kita. Dan terakhir, ketahui opportunity (peluang) kita, yaitu peluang-peluang yang bisa kita raih ke depannya. Persis seperti di dunia konsultan namanya SWOT Analysis. Kita nggak harus bikin secara formal tertulis juga seperti di konsultan sih. Tapi yang pasti, pola pikir kita harus terarah seperti itu.
Menempuh Pilihan Yang Diambil
Menjalani pilihan yang terbaik itu tidak selamanya indah. Jalan itu pasti banyak tantangannya dan halangannya. Pendidikan gue di Fasilkom sendiri tidak semudah itu juga. Ada pelajaran-pelajaran yang gue sangat handal, seperti pemrograman. Ada pelajaran-pelajaran yang gue sangat kesulitan mengikutinya, seperti matematika diskret dan komputasi numerik. Balik lagi, semua adalah soal keseimbangan. Dari semua kemudahan yang kita terima, jadikan itu sebagai pemupuk untuk mendorong kita di setiap kesulitan yang kita hadapi.
Burn-out atau bosan itu wajar. Gue sendiri sering kok menghadapi fase-fase kebosanan, bahkan hingga saat ini. Jadikan fase burn-out itu sebagai ajang kita untuk mengeksplorasi area-area yang kita sukai. Fast-forward ke masa gue kerja, burn-out terparah gue adalah momen di mana ketika gue telah bekerja 3 tahun di perusahaan konsultan besar. Karir di perusahaan besar tidak semata-mata membuat gue puas. Cara memperoleh rasa kepuasan masing-masing orang jelas berbeda, dan gue jelas tidak menemukan kepuasan dalam diri gue ketika bekerja sebagai konsultan.
Ini bukan berarti karir gue di konsultan jelek. Gue bangga dengan pencapaian gue di Accenture. Atasan-atasan gue banyak yang puas dengan hasil kerja gue. Bahkan, gue mendengar sistem yang gue rancang dan komponen penting di dalamnya yang gue program sendiri masih digunakan hingga sekarang. Gue sendiri banyak belajar ilmu baru yang gue sukai di sana, seperti tentang manajemen, proses bisnis, dan bahkan ilmu tentang infrastruktur tenaga listrik. Yep, gue dulu ditempatkan pada proyek di perusahaan ketenagalistrikan, dan gue sangat menikmati mempelajari ilmu-ilmu baru terkait itu di sana. Pokoknya, I am extremely proud with my career at Accenture. Tapi rasa bangga itu tidak menjadikan gue puas.
Mungkin gue egois. Mungkin gue angkuh. Tapi dengan mulai padamnya rasa puas yang sebelumnya ada membuat kinerja gue semakin terkikis. Gue mulai tidak semangat untuk bangun pagi. Gue tidak semangat untuk mengerjakan tugas-tugas gue di kantor. Gue menyadari bahwa gue ga boleh untuk makin terjerumus dalam demotivasi ini. Oleh karena itu, gue berusaha untuk membuka kembali pikiran gue dan mencoba menjawab pertanyaan “gue pengen ngapain sih?”
Eksplorasi Diri di Masa Sulit
Periode burn-out adalah periode sulit. Sama seperti kondisi ekonomi yang diterpa wabah yang membuat ekonomi menjadi tidak berkembang. Jadi, kita harus mencari obatnya untuk menyembuhkan kita dan membawa kita ke luar dari masa sulit itu. Caranya adalah eksplorasi diri. Kalau sebelumnya ketika gue mau memilih jurusan kuliah gue melakukan refleksi diri, eksplorasi diri ini adalah cara untuk memandang ke depan. Kita mencoba mencari potensi-potensi apa saja yang kita punya, kemudian kita buat rencana, lalu kita eksekusi rencana tersebut.
Eksplorasi diri harus dilakukan dengan membuka diri kita terhadap apapun yang ada di depan kita. Periode demotivasi biasanya akan mengaburkan kita dari potensi-potensi yang ada di depan kita. Kita harus buang jauh-jauh kabut keraguan tersebut dan telaah apa saja yang ada di hadapan kita yang bisa kita ambil. Ketika gue burn-out di Accenture, gue mencoba mencari alternatif-alternatif yang ada, baik yang tersedia di dalam pekerjaan gue saat itu, maupun di luar.
Atasan gue di Accenture-pun sangat membantu gue dalam mencoba membuka alternatif-alternatif pilihan yang ada di sana. Mereka sepertinya menyadari bahwa gue sudah sangat bosan dengan pekerjaan gue yang semakin hari semakin monoton. Salah satu yang mereka berikan adalah menugaskan gue untuk belajar mengolah data yang diperoleh dari proyek-proyek ketenagalistrikan yang kami kumpulkan, lalu mencoba membuat rekomendasi dan kesimpulan dari data-data tersebut. Ini merupakan tantangan yang menggelitik otak gue di mana sebelumnya biasanya gue bekerja untuk merancang sistem atau memperbaiki proses bisnis. Gue dibantu oleh salah seorang manajer senior di Accenture, mbak Debby, yang menjadi peer gue. Gue banyak belajar dan bertukar ilmu bersama beliau. Ini membuka salah satu alternatif pilihan baru untuk fokus ke bidang strategi dan analisis bisnis.
Gue bahkan juga sempat terlibat dalam membuat proposal penawaran pekerjaan konsultansi. Jarang-jarang level analis-baru-mau-naik-jadi-konsultan sudah dilibatkan untuk mengerjakan proposal bersama dengan eksekutif-eksekutif senior. Di antara mereka semua, gue adalah yang termuda dalam tim, dan gue ditemani oleh senior gue yang baru dipromosikan menjadi manajer, Rama. Terlebih lagi, gue disuruh mengerjakan bidang yang sangat aneh dan baru buat gue: risk management. Gue disuruh membuat bagian dalam proposal yang membahas tentang pengelolaan risiko. Seumur hidup belom pernah belajar tentang pengelolaan risiko secara langsung. Hanya sempat terlibat sedikit dalam perancangan sistemnya tapi itupun tidak dalam karena ada teman gue yang lain yang bertanggung jawab di bidang itu. Gue langsung dihajar dengan puluhan referensi dan sumber bacaan untuk membuat solusi pengelolaan risiko yang bisa ditawarkan oleh Accenture ke calon customernya.
Walaupun gue harus lembur di malam natal, gue sangat bangga bisa terlibat dalam mengerjakan proposal itu. Gue mempelajari ilmu baru terkait pengelolaan risiko, dan gue mempresentasikannya di hadapan para eksekutif-eksekutif senior di sana. Gue mendapat apresiasi karena bagian yang gue kerjakan sangat bagus walaupun gue baru belajar. Dan kami semua makin bangga lagi ketika tahu bahwa proposal penawaran kita mendapatkan skor paling tinggi, bahkan lebih tinggi daripada boutique consultant lainnya yang ikut dalam lelang pekerjaan tersebut. Walaupun Accenture harus kalah karena harga yang ditawarkan Accenture tidak sesuai harapan calon customernya. Terang saja, bos-bos gue semua langsung tembak harga tinggi karena mereka tahu pekerjaan ini bakal butuh banyak tenaga. Walaupun kenyataannya begitu, kami semua tetap puas dan bangga dengan hasil pencapaian kami.
Pada saat yang sama, gue juga mencoba potensi gue untuk mendaftar di program-program pascasarjana di luar negeri. Gue mencoba mendaftar LPDP dan universitas-universitas di Amerika Serikat. Gue mengambil kursus intensif IELTS seminggu tiga kali selama 4 bulan setelah jam pulang kantor untuk mempersiapkan itu. Gue juga berniat untuk kembali mengambil jurusan ilmu komputer karena gue merasa terpanggil untuk kembali menelusuri potensi gue di bidang ilmu komputer yang sudah terlewatkan selama 3 tahun lebih berkarir sebagai konsultan. Gue yakin gue punya potensi yang masih terpendam yang bisa gue eksplorasi lagi lebih dalam jika gue berkuliah pascasarjana di bidang ilmu komputer.
Motivasi dan Pertanyaan Tentang Rasa Puas
Eksplorasi diri tidak selamanya membuahkan hasil yang baik. Walaupun gue sudah mengeksplorasi opsi-opsi yang ada, ternyata tidak ada yang bisa menyelamatkan gue dari rasa burn-out tersebut. Walaupun gue senang dengan alternatif yang diberikan di Accenture, gue tetap merasa tidak puas dan merasa ada yang kurang. Mungkin lagi-lagi gue terlalu serakah. Tetapi kembali lagi ke pertanyaan, “gue puas nggak sih mengerjakan apa yang saat ini gue lakukan?”
Suatu ketika, gue pulang kantor bersama dengan Bayu, sahabat gue di Accenture dulu. Sampai sekarang gue masih terngiang pembicaraan dengan sahabat gue itu di KRL. Kami mendiskusikan tentang apa yang mendorong kita dalam melakukan sesuatu. Menurut dia, ada dua kategori motivasi pada diri: (1) motivasi karena suka, dan (2) motivasi karena harus. Dia mengatakan bahwa gue adalah kategori pertama, karena gue mengerjakan hal-hal yang gue suka. Gue mendapatkan energi karena rasa suka gue. Sedangkan dia bilang dia mengerjakan pekerjaan dia karena dia merasa bisa dan harus. Dia mendapatkan energinya dari rasa keharusan dia. Dia bilang, dia sebenarnya enggak terlalu suka dengan apa yang dia kerjakan saat itu, tapi karena dia bisa, dia mendapatkan rasa keharusan untuk mengerjakan itu. Karena buat dia, itu adalah pilihan yang paling rasional dalam hidup dia dibandingkan dia harus menjalani bidang yang dia suka namun sangat berisiko tinggi.
Menurut dia, orang yang bekerja dan mendapatkan motivasinya karena rasa sukanya adalah orang yang sangat beruntung. Ini adalah sebuah luxury yang tidak semua orang mendapatkannya. Tidak semua orang bisa memiliki kesempatan mengerjakan hal-hal yang dia sukai. Ini salah satu yang membuka mata gue bahwa perspektif kita harus seluas mungkin dan pantang mengeluh atas kondisi diri. Ada kalanya kita harus bersyukur dengan apa yang kita peroleh, tetapi juga ada kalanya ketika kita harus mengambil langkah untuk meningkatkan rasa kepuasan kita. Menurut teman gue, kedua motivasi tersebut sama-sama dapat memberikan rasa puas.
Kepuasan itu tidak harus ditumbukan karena rasa suka, tapi semata-mata karena kita merasa kita berhasil menjalankan tujuan hidup kita. Contoh sederhananya, kita bekerja untuk menghidupi keluarga kita. Kita memiliki keharusan untuk menghidupi keluarga kita sehingga itu menjadi motivasi kita untuk bekerja sebaik mungkin. Ketika kita mendapatkan hasilnya, kita merasa puas dengan pencapaian kita. Walaupun pekerjaan tersebut bukanlah sesuatu yang kita sukai atau bukan passion kita.
Yang paling ideal adalah ketika dua motivasi tersebut bisa bersatu padu. Kita mengerjakan karena kita suka dan kita harus. Apabila saat ini kita berada pada posisi pertama, kita harus mencari suatu panggilan keharusan yang akan membuat kita bertahan terus dengan passion kita. Sedangkan, apabila kita berada pada posisi kedua, kita harus menumbuhkan rasa suka dari pekerjaan kita, agar kita dapat terus berinovasi dan bereksplorasi dengan berbagai macam potensi yang ada di sana. Kembali lagi, ini semua adalah kondisi ideal dan mungkin tidak semua orang punya kesempatan yang sama. Tetapi sangat penting bagi kita untuk tidak memikirkan kemungkinan negatifnya. Karena kita harus memandang semua dari sisi positif agar kita bisa mencapai kondisi ideal yang sesuai dengan kondisi kehidupan kita.
Batu Sandungan dan Keputusan Besar
Kembali lagi pada eksplorasi diri, kegagalan gue menemukan pengobat rasa burn-out gue merupakan batu sandungan yang besar buat gue. Ditolak beasiswa LPDP dan ditolak oleh semua (enam) perguruan tinggi yang gue daftar menjadi ombak besar dalam perjalanan karir gue. Tetapi, sebelum tanggal 15 April, tanggal pengumuman penerimaan universitas di Amerika, gue sudah sadar bahwa gue tidak boleh down karena gagal di sini. Gue percaya bahwa Tuhan pasti akan membukakan pintu yang tepat bagi kita, baik cepat ataupun lambat.
Oleh karena itu, gue berusaha mencari alternatif lainnya yang lebih radikal. Gue mencari tahu apa kekurangan gue yang menyulitkan untuk memperoleh peluang yang gue kejar. Kembali lagi ke SWOT Analysis, setiap weakness (kekurangan) kita bisa kita perbaiki dan kita ubah untuk menjadi strength (kekuatan) kita. Dari kegagalan gue di LPDP dan pendaftaran universitas, gue tahu bahwa pengalaman kerja gue di konsultan tidak cukup meyakinkan bahwa gue punya potensi terpendam di bidang ilmu komputer. Gue merasa bahwa gue perlu membuktikan itu terlebih dahulu.
Menurut pertimbangan gue, untuk membuktikan potensi gue, gue harus mengerjakan sesuatu yang terkait dengan bidang yang gue kejar. Karena gue ingin fokus di bidang ilmu komputer, maka gue harus mencari pengalaman spesifik di bidang ilmu komputer juga. Pengalaman gue di konsultan kurang spesifik dan cenderung menjadi jack-of-all-trades. Jadi, gue berkesimpulan bahwa gue harus mencari alternatif karir di luar perusahaan konsultan dan masuk ke industri teknologi sebagai praktisi.
Ini menjadi risiko yang besar juga bagi gue. Tidak gampang untuk mendapatkan pekerjaan sebagai software engineer setelah hampir 4 tahun berkutat di bidang konsultansi. Gue melamar ke Traveloka dan mereka mewawancarai gue sebagai calon tim product manager, layaknya semua jebolan konsultan yang masuk ke sana. Gue dengan gamblang mengatakan saat interview jika gue tidak ingin di level business development, tapi gue mau yang lebih dekat ke arah teknis juga, seperti jembatan antara product manager dan engineer. Pada saat itu, mereka mengatakan bahwa posisi semacam itu tidak ada di Traveloka, dan benar saja, gue langsung ditolak keesokan harinya.
Gue juga ditawari posisi di Snapcart, sebuah start-up di bidang customer data analysis. Salah seorang teman gue di konsultan, Abiyasa, sudah lebih dulu bekerja di sana dan dia menawarkan potensi untuk masuk sebagai technologist di sana. Gue diinterview oleh founder-nya, Rey, dan oleh salah satu leadership di venture capital penyokong dari Snapcart. Namun mereka mencari orang sebagai level CTO. Karena gue tahu gue belum punya kapabilitas sebagai level CTO, gue dengan jujur mengatakan bahwa gue belom pantas berada di posisi itu. Gue merasa lebih pantas kalau dapat level di bawahnya selagi gue belajar untuk menuju ke arah sana.
Walaupun awalnya mereka bilang dengan berat hati tidak melanjutkan proses penjajakan dengan gue, beberapa bulan kemudian mereka kembali mengontak untuk menawarkan posisi di bawah CTO tersebut. Namun sayangnya gue sudah mendapatkan posisi di perusahaan lain yang lebih sesuai. Bahkan sampai sekarangpun kalau gue tanpa sengaja bertemu dengan Abiyasa di jalan (sering banget ketemu dia random, di KRL lah, di Rumah Sakit lah :P), gue sering dicolek-colek untuk join bareng mereka kalo-kalo gue udah bosen di kerjaan gue.
Setelah menjajaki beberapa alternatif, akhirnya peluang itu terbuka ketika Mia, salah seorang teman ex-Accenture (lagi) menyebarkan lowongan di Samsung R&D Institute Indonesia (SRIN). Seketika saja gue langsung mengirimkan surat lamaran dan mereka langsung memanggil gue untuk mewawancarai dan menguji kemampuan gue di pemrograman. Akhirnya setelah sekian lama gue memperoleh kesempatan untuk membuktikan potensi gue secara langsung dan meyakinkan mereka bahwa gue bukan programmer abal-abal. Ketika gue mengerjakan tes pemrograman. gue mengerjakannya hanya memerlukan waktu satu jam dari dua setengah jam waktu yang diberikan. Lantas mereka langsung melakukan wawancara pada saat itu juga. Proses wawancara gue di SRIN hanya selama tiga minggu, itupun terpotong satu minggu karena gue pergi jalan-jalan ke Derawan bersama Barziyan, Irfan, Martha, dan Kirana :).
Oleh karena itu, proses eksplorasi itu perlu dijalankan dan dibuktikan. Selama proses eksplorasi, kita harus jujur dengan potensi kita. Boleh kok bluffing dikit tetapi dengan catatan bahwa kita benar-benar bisa akan melaksanakan apa yang kita bluffing di awal itu. Gue ketika masuk SRIN juga bluffing kalau gue bisa dan fasih ngoding C++ kok. Sebuah bluffing yang mengantarkan gue jauh hingga saat ini gue di Prancis 🙂
Menemukan Panggilan Jiwa
Hingga saat ini, gue masih mencari panggilan jiwa gue agar gue bisa mendapatkan motivasi dari keharusan. Sudah mulai banyak potensi-potensi yang akan menjadi motivasi tersebut yang gue pertimbangkan. Terjun ke bidang keamanan komputer bukanlah sesuatu yang gue rencanakan. Bahkan, bisa dibilang gue dulu takut untuk terjun ke bidang ini karena gue merasa bodoh. Gue nggak jago matematika diskret yang dibutuhkan dalam kriptografi. Gue nggak jago teknik-teknik eksploitasi dan hacking. Jangankan jago, tahu saja nggak pernah kok. Waktu kuliah bidang fokus gue adalah information retrieval (perolehan informasi) dan natural language processing (pemrosesan bahasa natural). Sehingga, bisa dibilang jalur yang gue tempuh saat ini sudah berbeda jauh dari apa yang gue fokusi dulu.
Dari yang sebelumnya berminat di arsitektur, sekarang malah terdampar di bidang keamanan komputer. Mencapai posisi ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, kita wajib untuk sabar dan tekun dalam mengeksplorasi potensi kita dan mengejar target kita. Tidak ada yang instan di dunia ini! Camkan itu! Semua butuh proses, semua ada kerja kerasnya, dan semua butuh waktu. Masing-masing orang punya kecepatannya masing-masing. Jangan merasa rendah ketika melihat orang lain tampak lebih cepat belajarnya. Mobil saja punya kecepatan maksimal masing-masing kok. Mobil Toyota Agya nggak bisa digeber lebih dari 80KM/jam di tol Cikampek karena mobilnya pasti malah terbang dan membuat celaka. Tapi mobil Toyota Agya sama-sama bisa dipakai untuk mengantarkan kita dari Cililitan hingga Pasteur, seperti Agya milik Glenn yang mengantarkan gue, Glenn, dan Regen ke Bandung di malam tahun baru 2015.
Sikap itu diperlukan agar kita bisa menemukan panggilan jiwa terhadap sesuatu yang ingin kita lakukan. Dengan menemukan panggilan jiwa tersebut, kita bisa akan lebih puas dalam menjalani pekerjaan yang kita lakukan. Gue menemukan panggilan tersebut setelah tiga tahun bekerja menjadi software engineer. Gue melihat bahwa banyak teman-teman di bidang yang sama yang masih kurang memahami pentingnya keamanan komputer. Gue merasa perlu untuk memperoleh ilmu yang lebih dalam dan menggali potensi gue di bidang ini untuk kemudian bisa gue aplikasikan di lingkungan gue di Indonesia.
Selain itu, kembali lagi dari rasa kagum akan tumbuh rasa penasaran dan kemudian rasa suka. Semua sama seperti kita mencari pasangan hidup kita. Pekerjaan kita adalah pasangan hidup kita juga. Gue menemukan kekaguman terhadap compiler (program untuk menterjemahkan program ke bahasa mesin) sejak gue bekerja menggunakan bahasa pemrograman C++ di SRIN, hasil bluffing yang gue lakukan saat itu. Dari rasa kagum itu, gue makin penasaran untuk mengeksplorasi bahasa pemrograman. Gue melakukan eksperimen, mencoba belajar menggunakan teknik-teknik pemrograman yang bisa dibilang sangat ajaib. Dari rasa penasaran tersebut gue memperoleh ilmu-ilmu baru, dan membuka kesempatan besar buat gue, seperti salah satunya untuk bisa menjadi pembicara di CppCon di Amerika Serikat tahun 2018 kemarin.
Gue sendiri sangat-sangat nggak menyangka gue bisa diundang menjadi pembicara di CppCon. Tahun 2011 ketika gue lulus dari Fasilkom boro-boro gue kepikiran untuk melakukan pemrograman menggunakan C++. Tapi semua proses yang baik pasti akan membuahkan hasil. Hasil itulah yang kemudian makin menumbuhkan rasa suka kita dan makin memotivasi kita. Ketika kita puas dengan hasil kita, itu tandanya kita suka dengan pekerjaan kita. Di CppCon gue bertemu banyak orang yang makin memotivasi gue untuk mendalami compiler lebih dalam. Dan dua tahun berlalu, riset gue selama pendidikan master ini semua berkutat di bidang compiler. Gue berusaha keras mencari peluang yang ada untuk riset di topik ini atas dasar kesukaan gue. Mungkin bisa dibilang gue kebanyakan pilih-pilih. Tetapi kembali lagi, buka dan cari alternatif sebanyak-banyaknya, lalu dari alternatif tersebut kita pilih-pilih yang terbaik menurut kita secara obyektif. Karena itu demi pengembangan diri kita juga.
Dari semua proses yang gue jalani itu gue akhirnya menemukan panggilan jiwa gue. Gue ingin berkontribusi di bidang ilmu komputer, terutama di keamanan komputer dan keamanan perangkat lunak. Gue ingin menyebarkan ilmu gue ke orang-orang di sekitar gue, baik melalui jalur profesional, maupun jalur akademisi. Bahkan sekarang gue mulai mempertimbangkan untuk menjadi tenaga pengajar setelah mendapatkan inspirasi dari orang-orang di sekitar gue. Dulu gue merasa ga pantas jadi tenaga pengajar karena lagi-lagi gue merasa bodoh dibandingkan teman-teman gue yang pintar-pintar di bidang akademis. Tapi memang benar bahwa kita harus menyingkirkan perasaan rendah diri sejauh mungkin agar kita bisa memaksimalkan potensi yang ada pada diri kita.
Akhir Kata
Gue coba rangkum tentang hal-hal penting dalam perjalanan mencari semangat atau passion kita:
- Rasa suka itu selalu diawali dengan rasa kagum
- Selalu coba mencari alternatif apapun itu
- Refleksi diri sendiri untuk mengetahui potensi kita dari hal-hal yang sudah kita pernah lakukan sebelumnya
- Perspektif sempit dapat membuat kita melewati atau mengabaikan potensi besar yang kita punya
- Dalam membuat keputusan, selalu dasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional
- Dalam membuat keputusan, selalu perhatikan keseimbangan antara hasil dan risiko
- Kenali risk profile, strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang), dan threat (risiko) dari diri kita
- Burn-out itu wajar. Bjarne Stroustrup (pembuat C++) aja sering sering burn-out kok
- Jalani eksplorasi diri untuk mengetahui potensi kita ke depan
- Cari potensi, buat rencana, eksekusi rencana menuju target tersebut
- Be open minded to yourself!
- Kepuasan itu berasal dari keberhasilan kita menjalani tujuan hidup kita
- Selalu berpikir positif!
- Tunjukkan dan buktikan pada dunia bahwa kita bisa!
- Selalu jujur dengan potensi kita, baik ke diri kita sendiri dan ke luar
- Wajib untuk selalu sabar dan tekun dalam semua proses yang dilalui
- Tidak ada yang instan di dunia ini! Cuma Indomie yang instan dan enak!
- Jangan merasa rendah ketika melihat orang lain tampak lebih cepat belajarnya
- Dari rasa kagum akan tumbuh rasa penasaran dan kemudian rasa suka
- Selalu cari inspirasi dari sekitar kita
- Singkirkan perasaan rendah diri sejauh mungkin
Panjang banget yah. Ya memang panjang ceritanya. Hidup gue kan sudah cukup panjang juga 🙂 Ini cerita yang bolak-balik gue ceritain ke adik gue, temen-temen gue, ke junior gue di kantor, ke junior gue di kampus, dan sebagainya. Ini adalah prinsip yang gue jalani dan gue berusaha untuk tetap teguh menjalaninya hingga akhir hayat. Nah sekarang saatnya kalian semua mendengar cerita ini. Jika kalian membaca dari atas sampai bawah sini, terima kasih sudah membacanya dan semoga bermanfaat. 🙂