Opini Tentang Dokumenter Sexy Killers
Baru berkesempatan nonton dokumenter Sexy Killers karena disodorin temen. Kemarin pas masa tenang gue memutuskan untuk tidak menonton dulu karena takut terlalu bombastis. Namun setelah menonton ini sekarang, bisa dibilang dokumenter ini sangat bagus untuk membuka mata. Kalau kalian ada yang belum nonton, baiknya silakan nonton untuk membuka pemahaman tentang bagaimana uang panas Batu Bara berputar. Linknya: https://youtu.be/qlB7vg4I-To
Gue sudah pernah dikenalkan dengan supply chain batu bara ini dari pekerjaan gue sebelumnya, dan tentang isu-isu yang terkait di dalamnya. Cuman mungkin baru sekarang keliatan jelas digambarkan melalui dokumenter ini. Batu bara bukan isu baru. Semua dimulai ketika booming industri batu bara di awal 2000-an di mana bisnis batu bara jadi tambang emas hitam dengan ekspor yang besar ke China, di mana China sedang booming industrialisasi dan butuh listrik cepat. Banyak perusahaan baru bermain di bisnis ini, terlebih lagi karena era reformasi “mempermudah” membuka bisnis ini dengan adanya otonomi daerah.
Otonomi daerah merupakan sumber dari terbitnya Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Berbeda dengan sumber daya Migas yang diatur langsung secara sebtrak oleh pemerintah pusat, IUP merupakan perizinan yang berjenjang, di mana izin bisa dikeluarkan oleh kepala daerah yang bersangkutan sesuai dengan wilayah kerja masing-masing. Sejak saat itulah kenapa muncul banyak raja-raja kecil di daerah, karena kewenangan daerah terkait lahan basah ini meningkat pesat, apalagi di daerah dengan pertambangan.
Selain itu terkait dengan pembangunan PLTU, konstruksi PLTU juga memerlukan izin prinsip dari pemerintah daerah. Yang kemudian dilanjutkan dengan tahapan-tahapan panjang hingga akhirnya listrik bisa diproduksi dan asap bisa keluar dari cerobongnya. Salah satu yang sebenarnya krusial adalah AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan itu dilakukan di fase-fase awal sebelum konstruksi pembangkit bisa dilakukan. AMDAL inipun melibatkan banyak pihak terutama dengan pemerintah daerah. Sepengetahuan gue dulu, AMDAL ini memang sering terganjal dan jadi backlog banyak proyek konstruksi. Namun dalam dokumenterpun disebutkan bahwa selama ini izin AMDAL pada akhirnya lolos-lolos saja.
Sudah banyak orang yang bekerja di sektor energi paham sumber awal ekspansi perusahaan setrum di Indonesia pasca reformasi. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang direvisi setiap setahun sekali dan berlaku untuk masa sepuluh tahun, dikerjakan bersama-sama antara perusahaan setrum nasional dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. RUPTL merinci program-program konstruksi pembangkit baru, jaringan transmisi dan distribusi, guna meningkatkan rasio elektrifikasi secara keseluruhan berdasarkan dengan forecast dan outlook dari konsumsi listrik.
Program pertama ekspansi listrik pasca reformasi bermula ketika Fast Track Project-1 (FTP-1) digulirkan sekitar tahun 2006, dengan rata-rata Commercial Operation Date (COD) pada tahun 2009-2010. FTP-1 ini punya backlog yang sangat besar dan pada sekitar tahun 2013-pun masih banyak PLTU ini yang belum beroperasi. Yang juga harus dicermati adalah pendanaan FTP-1 ini dibebankan kepada perusahaan setrum langsung dalam bentuk pinjaman kepada konsorsium-konsorsium perbankan, baik lokal maupun internasional. FTP-1 ini dilanjutkan dengan FTP-2, yang juga tidak kalah underperform-nya di mana banyak proyek FTP-2 ini mangkrak. Perbedaannya dengan FTP-1 adalah banyaknya pembangkit dengan sumber tenaga panas bumi yang akan dikerjakan oleh Independent Power Producer (IPP). Akhirnya proyek FTP-1 dan FTP-2 yang memiliki backlog yang besar tersebut, di-carry over ke pemerintahan sekarang dalam program 35.000 MW.
Proyek-proyek pembangunan 35.000 MW hingga sekarang itu, memang tidak bisa dipungkiri bahwa porsi batu bara sangatlah besar. Sesuai dengan video dokumenter tersebut, energi batu bara adalah energi paling murah untuk memproduksi listrik, baik dari ongkos operasional, maupun investasi. Terlebih lagi, banyak pembangkit listrik FTP-1 hingga 35.000 MW merupakan pembangkit listrik dengan skala MW yang rendah, antara puluhan hingga di kisaran 100 MW. Ini mempengaruhi seluruh karakteristik dari PLTU itu sendiri, mulai dari ongkos investasi hingga bahan bakar yang digunakan.
Jadi, PLTU dengan kapasitas rendah itu dapat menggunakan jenis batu bara dengan kualitas rendah. Batu bara itu engga cuma satu jenis. Banyak grade batu bara yang mempengaruhi kandungan kalori, potensi energi, harga, hingga efisiensi dari batu bara tersebut. Gue sendiripun tidak tahu secara detil mengenai masing-masing grade tersebut. Tapi karakteristik PLTU yang menggunakan batu bara dengan grade rendah adalah coal storage-nya kebanyakan tertutup, tidak terbuka. Bisa dilihat di dokumenter, PLTU Celukan Bawang dan PLTU di Palu semua punya kubah tertutup untuk menyimpan batu bara untuk produksi listrik. Ini karena batu bara low grade gampang menurun kadar kalorinya jika terkena cuaca dan hujan, yang membuat batu bara tersebut tidak menghasilkan energi yang diharapkan.
Efek dari penggunaan batu bara murah ini ya juga panjang, salah satunya ya berdebu, lebih kotor, seperti yang digambarkan di film dokumenter itu juga. Cuman balik lagi, harganya murah. Ongkos konstruksi pembangkitnyapun lebih murah juga. Dan sialnya adalah, pembangkit listrik biasanya dibangun sesuai dengan jenis batu bara yang dipakai. Jadi tidak semudah itu untuk mengubah pembangkit listrik yang dirancang untuk menggunakan batu bara low grade untuk kemudian menggunakan yang high grade.
Kenapa sih pakai yang murah seperti itu? Alasan yang dipublikasikan sih karena untuk memeratakan produksi listrik. Kondisi geografis Indonesia itu kan besar, sedangkan banyak wilayah yang saat ini belum membutuhkan pembangkit listrik skala besar seperti yang ada di pulau Jawa, contohnya Paiton. Selain itu, jaringan transmisi Indonesia di luar pulau Jawa belum semuanya terhubung sehingga menyulitkan untuk membuat pembangkit listrik tersentralisasi di pulau-pulau luar Jawa. Dan juga, distribusi batu bara menggunakan laut itu sangat murah investasinya dibandingkan membangun PLTU Mulut Tambang yang ditransmisikan melalui kabel ke pusat-pusat konsumsi, mengingat pusat konsumsi ada di seberang pulau. Karena butuh cepat dan mudah, akhirnya dibuatlah FTP-1 tersebut, apalagi pada tahun 2006 itu, pembangkit peninggalan zaman orde baru yang menggunakan Diesel sudah mulai tua dan rusak, dan harga minyak dunia makin tinggi-tingginya, yang bikin perusahaan setrum makin merugi.
Tapi, pada dekade 2010 ke sini, kondisi ekonomi dunia-pun mulai berubah. Gue mendengar kalau China mulai mengurangi ketergantungannya dengan batu bara Indonesia di mana China mulai bisa memenuhi kebutuhannya sendiri atau mengandalkan sumber energi lain untuk produksi listriknya. Makanya belakangan banyak perusahaan batu bara yang tutup warung di sekitaran 2010-2013 karena kehilangan pelanggan besarnya. Namun, lain cerita dengan perusahaan-perusahaan dengan modal yang lebih kuat. Indonesia punya potensi besar di bidang listrik yang belum digarap. Oleh karena itu, banyak perusahaan batu bara akhirnya ikut bermain di pasar pembangkitan listrik, terutama semenjak dipermudahnya untuk perizinan menjadi IPP guna memenuhi target produksi listrik dalam RUPTL.
Intinya sih, tambang di Kalimantan udah dibuka banyak, tapi customer utamanya hilang. Ya mereka mengalihkannya dengan mencari customer baru yaitu Indonesia. Hal ini juga akhirnya terlihat samar-samar melalui keterkaitan antara supply chain batu bara tersebut dengan pihak-pihak pemangku kekuasaan di Indonesia. FTP-1 yang dimulai sejak tahun 2006 dengan proyek 35.000 MW saat ini memiliki keterkaitan yang besar dengan salah satu pemegang kuasa tertinggi saat ini. Belum lagi, banyak purnawirawan yang memiliki porsi di industri batu bara, yang mungkin hasil dari trend industri tersebut di masa para purnawirawan tersebut pensiun. Dan para purnawirawan itu saling terkoneksi satu sama lain dalam lingkaran bisnis mereka semua.
Dokumenter Sexy Killers bisa membuka informasi yang lebih jelas terkait ini semua, dan menunjukkan bahwa semua pihak yang saat ini ada di atas sana terkait dalam lingkaran bisnis ini. Jalan Indonesia untuk bisa bebas dari cengkraman pemilik modal, yang mana bahkan adalah orang pribumi sendiri, tampaknya masih sangat jauh. Namun semoga siapapun yang akan melanjutkan kepemimpinan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa lebih memaksa pemilik-pemilik modal tersebut untuk tunduk pada hukum dan memperhatikan efek jangka panjang dari ekspansi bisnis yang mereka lakukan.
Oleh karena itu juga, pertimbangkan masak-masak dalam memilih pejabat negara tersebut, apalagi nanti ketika memilih kepala daerah yang akan kembali dimulai tahun depan. Jangan golput! Karena mereka juga punya andil besar dalam kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh tambang, PLTU, atau industri-industri lainnya, sekali lagi karena izin prinsip itu dikeluarkan oleh kepala daerah, AMDALpun juga disetujui oleh mereka. Salah satu komentar kepala daerah yang dikutip di dokumenter tersebut sangatlah memuakkan dan jadi contoh besar untuk tidak memilih kepala daerah seperti dia.